History of Les Village
Unveiling the Rich Heritage and Stories of Les Village
Tersebutalah menurut yang punya cerita,dahulu kala yang diperkirakan sebelum abad ke X ada sebuah desa yang bernama Panjingan,yang terletak di dusun Panjingan desa Les Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng,berjarak 35 km sebelah Timur kota Singaraja dan setengah km dari pantai.Konon kata panjingan berasal dari kata”manjing” yang artinya masuk,karenanya diperkirakan desa ini adalah sebuah Bandar/pelabuhan masuk ke Bali dwipa.
Desa ini juga diperkirakan sejaman dengan sebuah desa yang ada dijaman itu,yakni desa Kawista(lihat sejarah Kawista) yang terletak di Yeh Buah,Penyusuhan Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.Hubungan kedua desa ini sangat erat,menurut tuturan bahwa sering sekali Ratu betara Puseh Panjingan,mekiis ke Pura Kertta Negara Penyusuhan.Terahir hubungan itu terjadi kira2 tahun 1957,Ida Betara Puseh panjingan “nyumpu “ .Konon Putran Betara Puseh Panjingan”:kawin” dengan salah satu putri dari Ida Betara di Penyusuhan.
Desa Panjingan di jamannya adalah desa yang cukup maju,sebab telah terjadi hubungan dengan penduduk dari luar Bali,terutama dengan orang2 “nomaden” yang hidup beranak pinak diatas perahu.Mereka hidup dari hasil perikanan,seperti ikan dan juga kerang2an.Begitu akrabnya hubungan itu,sehingga setiap ada upacara ngusaba / lebih dikenal dengan “ngilehang kebo” di Pura Puseh Panjingan saat diadakan”tabuh rah” /sabungan ayam,orang2 perahu yang lebih jamak disebut “wong Bajo” itu ikut main judi sabung ayam.
Suatu saat “wong Bajo” yang suka berjudi tersebut,ingin memiliki ayam aduan.Ayam aduan yang di idam2kan adalah ayam putih mulus,bulunya ,paruhnya maupun kakinya semua berwarna putih,hanya satu batang tangkai bulu sayapnya yang berwarna hitam.Inilah yang disebut ayam “ sa Ginangsi” yang lebih terkenal dengan nama ayam”totos Panjingan”.Sahdan “wong Bajo tersebut dijuali ayam “sa Ginangsi” oleh salah seorang krama desa Panjingan.
Saat ada upacara Ngusaba/ngilehang kebo di pura Puseh,maka seperti biasa diadakanlah tabuh rah/sabungan ayam.Banyaklah bebotoh datang saat itu, dari mana 2 ,termasuk wong perahu yang telah memiliki ayam”sa ginangsi” tersebut.Tapi apa lacur ternyata ayam “sa ginangsi yang diandalkan,yang diberi taruhan cukup banyak ternyata kalah.Maka begitu kecewa dan marahnya orang perahu itu.Selidik punya selidik akhirnya “wong perahu” itu tahu bahwa ayam “sa ginangsi” yang dibelinya itu adalah palsu.Tambah marah dan begitu dendam wong perahu itu kepada Krama Panjingan.Mereka menganggap dirinya telah ditipu dengan persekongkolan jahat.Demikianlah wong perahu tersebut pergi dengan dendam yang teramat sangat.
Suatu saat datang lagi wong perahu ini berdagang ke desa Panjingan,Mereka pura2 baik dan seakan akan melupakan peristiwa sabung ayam itu.Walaupun mereka sebenarnya bekehendak jahat.Mereka lalu menyebarkan biji2 kapuk di sekeling desa Panjingan.Sementara orang 2 Panjingan sedikitpun tak ada yang curiga.
Beberapa tahun kemudian pada suatu malam,setelah pohon kapuk ini besar dan tinggi,datanglah orang perahu yang lebih dikenal dengan istilah wong Bajo menyerang dengan pasukannya secara membabi buta.Serangan yang dengan tiba2 ini menyebabkan masyarakat /krama desa Panjingan jadi kalang kabut.Mereka tak sempat melawan ,hanya melarikan diri bersama anak istri sambil tak lupa membawa”pejenengan” di pura Puseh berupa keris,tombak dan “belakas”/badik.Mereka krama desa Panjingan melarikan diri kearah atas perbukitan dan sampailah di pinggir tenggara dari air terjun Yeh Tah.Sementara wong Bajo merusak perkampungan dan juga Pura puseh Panjingan ,hingga taulan/patung2 di sana tak satupun yang masih utuh.
Di sana lah akhirnya membuat pemukiman baru yang diberi nama desa Bahu.Bahu artinya sama dengan Baru atau Wawu.Tempat ini kemudian lama kelamaan lebih terkenal dengan nama Banjar Buhu,mungkin karena disana tumbuh pohon buhu yang begitu besar,sampai2 garis tengahnya lebih dari 4 meter.Anehnya pohon buhu ini tak mati2,walaupun hanya tinggal pangkalnya/bungkilnya selalu tumbuh kembali.
Tak dikisahkan entah beberama lama/tahun berdirinya desa Bahu,akhirnya terjadi rembug antara tetua desa ingin memindahkan desa Bahu ke sebelah Barat “pangkung/jurang Yeh Tah.Hal ini dilakukan konon karena Krama desa Bahu masih khawatir,kalau kapan2 diserang lagi oleh “wong Bajo”.Disamping itu lahan yang ada di sana adalah lahan yang sangat strategis dan merupakan pertahanan alami bernama “supit urang”Disebut demikian karena disebelah Timurnya jurang Yeh Tah,disebelah Baratnya adalah jurang Yeh Mampeh.Sedang di sebelah Utaranya adalah”munduk”/ bukit Batu Sangihan.Sehingga bila musuh menyerang tentu akan teramat sulit melakukannya.
Akhirnya dipindahkanlah desa Bahu ke sebelah Barat,dan desa ini kemudian disebut desa Hyang Widhi,sebab sejak didesa inilah krama desa mulai ingat dengan kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa.Hal ini tertandai dengan dibangun nya pelinggih yang disebut”Sanggah Yangudi”,serta tak lupa pula membangun setra yang terletak di sebelah Barat Daya Air Terjun Yeh Tah,tapi sejak tahun 1959 setra ini tak dimanfaatkan lagi,sebab desa Pekraman Les melarang karena dianggap ngeletehin desa,terletak dihulu Pura Bale Agung/Desa.Tempat dimana pernah berdirinya desa Hyang Widhi ini kemudian bernama Dusun/Banjar Hyangudi..Sementara Pura Sanggah Hyangudi sampai sekarang masih diemong oleh masyarapat yang bermukim di dusun Hyangudi.
Tak diceritakan entah berapa lama krama desa Panjingan bermukim di desa Hyang Widhi,akhirnya diputuskan untuk memindahkan desa kebawah oleh para tetua desa,dengan alasan ,lahan pertanian begitu sempit didesa Hyang Widhi,sementara masyarakat hidupnya bertani.Penduduk sudah bertambah banyak,sumber air jauh di bawah jurang di kali Yeh Tah.Namun karena masih takut dan trauma diserang kembali oleh “wong Bajo” perkampungan yang didirikan tetap dekat “munduk Batu Sangihan,atau dekat tukad Mecanggah,hal ini dilakukan tentu saja agar apabila diserang dapat dengan mudah menyelamatkan diri naik lagi ke Hyangudi.
Desa baru ini kemudian disebut desa Ngenes,namun karena ditulis dengan aksara Bali, hurup “nga” digantungi “na kojong” akhirnya berbunyi LES.Versi lain mengatakan bahwa sesungguhnya memang bernama LES yang berarti bersembunyi.Ingat les kayu selalu bersembunyi di tengah2.Tapi menurut Kamus bahasa Kawi karangan WJS Purwadarminta kata “les” berarti lari atau melarikan diri.Sedangkan kata ngenes artinya konon bersembunyi.
Adapun keris ,tombak dan badik yang dibawa saat melarikan diri adalah pusaka yang ada di pura Puseh Panjingan,kemudian dibuatkan pelinggih/pura di Sanggah Dalang dan sebagai ista dewatanya mepesengan Ida Ratu Ngurah Sanjata yang diemong oleh warga asli Tangkas Pempatan,penduduk asli Panjingan yang juga disebut Pasek Les.Beliau juga dianggap sebagai putra dari ratu Betara Puseh.
Pada saat perpindahan krama desa dari Hyangudi turun membuat desa Les ada beberapa warga desa yang masih takut bermukim disana,lalu mereka pergi meninggalkan desa Les ada yang sampai di desa Bungkulan,desa Jinengdalem dan desa Pengelatan,yang kemudian komonitas ini menetap di desa2 tersebut,dan sampai sekarang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Tangkas Pempatan wed Panjingan.
Tak diceritakan entah sudah beberapa lama masyarakat desa Les hidup aman tentram,tiba2 pada suatu saat terlihat ada pembabatan dan pembakaran hutan disebelah Timur wilayah desa Les.Setelah diselidiki ternyata terdapat sekelompok orang membabat hutan di sana.Mereka lalu ditanya oleh Tetua desa,darimana dan siapa gerangan berani membabat hutan di sana,padahal di sana adalah wilayah desa Les.Ternyata setelah memperkenalkan diri,mereka adalah rombongan dari desa Bumbungan Kelungkung,mohon agar diperkenankan membuat pemukiman di sana,dan mereka menyatakan adalah Trah ksatria” Anak Agung” yang karena terjadi perselisihan keluarga terpaksa meninggalkan desa.
Dalam perundingan terjadilah kesepakatan warga dari Bumbungan dapat diterima /diijinkan membuat pemukiman,dengan syarat mau “medesa pakraman” didesa Pakraman Les,mau nyineb wangsa,tidak lagi “nyinggihang raga” dan menggunakan “asah basa mabeli-cai.Hal ini ternyata disepakati dengan tidak ada paksaan apapun juga,hanya berdasarkan keikhlasan semata.
Makin lama makin banyak konon orang2 datang dan bermukim di tempat itu,terutama dari keluarga Pande yang awalnya datang untuk berjualan alat2 pertanian.Sejak itu sudah mulai terdapat pasar di tempat ini.Tempat ini kemudian disebut desa PENUPTUPAN.yang lama2 berubah menjadi desa Penuktukan.
Demikianlah akhirnya desa Les dan Penuktukan menjadi satu desa Pakraman,walaupun dua2 nya berstatus desa Dinas,dan sama 2 nyungsung Kahyangan Tiga yang seluruhnya terletak di desa Les ,termasuk Pura Sanggah Desa,Pura Naga dan Pura Segeha,dengan perbandingan desa negak”KRAMAN” dari Les duduk 19 orang dan dari Penuktukan duduk 9 orang,dengan sistim”nglulu apad”